Senin, 30 Juli 2012

Jika motivasi kerja anda kurang karena yang memotivasi nggak ada sehingga kerjapun jadi tidak semangat kita bisa menjadikan lingkungan atau semua yang ada disekitar kita sebagai alat motivasi agar kerja kita tambah produktif misalnya setiap pagi kita tersenyum ketika bangun tidur walau yang diajak tersenyum cuma dinding saja tapi efeknya luar biasa hari ini kita jadi termotivasi dalam bekerja akibat efek senyum pada dinding tadi luar biasakan.
Kalau kita yang senang atau mau bekerja dengan cara membuat blog bahkan sudah terjun didunia internet marketing menjadikan komputer sebagai alat motivasi dengan sering komunikasi dengan alat ini atau kita perbanyak teman difacebook dan bisa juga tambah motivasi dari yang sudah lumayan ahli seperti pak lutvi yang punya cafebisnis karena dengan banyak teman bisa berbagi pengalaman sehingga jadi fasilitas bermanfaat untuk meningkatkan kualitas kerja.
Benda yang ada dirumah kita banyak sekali tapi jarang sekali kita jadikan sebagai sarana motivasi contohnya petani kalau melihat padikan bisa dapat motivasi jika seandainya hasil kerja kerasnya sukses dengan hasil panen yang melimpah tidak menjadikanya sombong karena memakai ilmu padi semakin berisi semakin merunduk seperti kata-kata bijak yang banyak terdapat dikata bijak atau kata mutiara, motivasi tidak hanya dari benda yang bisa dilihat dengan mata langsung bisa jadi kita kita dari benda yang rumit seperti blog yang dibeli dari webiihost indonesia orang itu kok bisa menciptakan produk mengapa saya tidak? Inikan motivasi juga.
Alangkah indahnya dunia kalau kita menumbuhkan motivasi kerja dengan semua hal yang ada disekitar kita, saya yakin kualitas kerja anda akan meningkat, Selamat mencoba.
Dari saya yang senang memotivasi
                    http://motivasikerja.com/jadikan-semua-yang-ada-disekitar-sebagai-alat-motivasi/

Begitu banyak orang yang sudah mengalami proses belajar di sekolah dan perguruan tinggi dengan nuansa yang tidak begitu indah. Ini dapat dlihat dari beberapa gejala sbb: 1.Belajar dilakukan dengan rasa terpaksa, karena disuruh orangtua, guru atau dosen.   2.Belajar hanya dilakukan saat ada tugas atau PR dan saat akan menghadapi ujian saja.  Hal ini sering dilakukan, mulai dari SD sampai perguruan tinggi dan kadang sampai menjadi mahasiswa pasca sarjana.   3.Merasa senang jika guru atau dosen tidak hadir karena sakit atau oleh sebab lain.   4.Keinginan membolos yang cukup besar.   5.Belajar dilakukan untuk mencari nilai di atas kertas saja.   6.Tidak merasa bermasalah ketika lulus dengan nilai bagus tapi memiliki kemampuan yang rendah,  misalnya tidak bisa bicara bahasa Inggris.    7.Nilai ujian sering terkontaminasi oleh ketrampilan menyontek.   8.Bingung cari kerja karena nilai ijazah tidak mencerminkan ketrampilan yang memadai.
Kriteria sukses belajar
     Tamat sekolah dan kemudian memperoleh ijazah merupakan kriteria sukses belajar menurut pandangan sebagian besar orang.   Jika anggapan ini benar maka orang yang sudah suskses menimba ilmu di sekolah  seharusnya sukses pula di dalam menciptakan lapangan kerja atau setidaknya mencari kerja.   Kenyataan yang terjadi tidaklah demikian.  Begitu banyak lulusan sekolah yang di wisuda sebagai calon pengangguran
     Kegagalan mencari kerja atau menciptakan pekerjaan sesungguhnya juga merupakan kegagalan belajar di sekolah.  Gagal dalam arti tidak memperoleh kemampuan yang cukup dalam satu bidang ilmu, sekalipun nilai yang diperoleh dalam ilmu tsb adalah nilai yang bagus di dalam ijazah.
    Gagal dalam memperoleh kemampuan yang cukup dalam pelajaran penting yang sangat bermanfaat, sebenarnya merupakan masalah sangat serius di dalam dunia pendidikan.  Cobalah anda lihat betapa banyak para lulusan SLTA yang tidak bisa bicara bahasa Ingsris sama sekali padahal mereka sudah belajar bahasa Inggris sedikitnya selama 6 tahun dan di dalam ijazah, mereka mendapat nilai yang bagus.  Lebih dari itu para sarjana pun masih banyak yang kemampuan bahasa Inggrisnya cukup . . . . . . memalukan.
     Selain itu banyak juga para lulusan SLTA yang tidak bisa membaca notasi balok sama sekali, padahal mereka sudah belajar pelajaran seni suara / musik sedikitnya selama 3 tahun dan di dalam ijazah, mereka mendapat nilai yang bagus.
     Padahal jika seseorang memiliki kemampuan berbicara bahasa Inggris dengan tingkat kemampuan yang sedang-sedang saja, ia akan lebih mudah memperoleh pekerjaan, sekalipun pendidikannya tidak sampai tingkat sarjana.  Demikian pula halnya jika seseorang memiliki kemampuan dalam bidang seni suara / musik.  Hal ini sebenarnya merupakan masalah sangat serius yang sudah lama terjadi, tapi sejak dulu sampai sekarang, tidak mendapat perhatian yang cukup dari pengamat pendidikan, pakar pendidikan, dan bahkan menteri pendidikan.  
Pengertian belajar
     Kesuksesan belajar yang hakiki baru bisa dicapai jika seseorang memahami lebih dulu definisi belajar, prinsip belajar, proses belajar, dan tujuan yang akan dicapai.  Jika anda membaca buku-buku psikologi, maka  berbagai macam definisi tentang belajar, selalu diawali dengan suatu proses perubahan tingkah laku . . . . Bertitik tolak dari teori dan praktek belajar, definisi belajar dalam arti luas dapat diartikan sebagai suatu proses perubahan di dalam kepribadian manusia , di mana perubahan tsb ditampakkan dalam bentuk peningkatan kuantitas dan kualitas tingkah laku seperti peningkatan pengetahuan, pemahaman, dan berbagai macam keterampilan.
     Hal penting yang perlu digaris bawahi adalah bahwa seseorang baru dapat dikatakan benar-benar mengalami proses belajar dan berhasil di dalam belajar adalah jika ia memperoleh perubahan dalam bentuk peningkatan kuantitas dan kualitas kemampuan dalam bidang yang dipelajari.  Dengan kata lain definisi di atas bisa membantu kita untuk mengoreksi diri kita, apakah kita sudah  mengalami proses belajar yang benar dan berhasil dalam belajar ?
Beberapa prinsip belajar
     Uraian di atas menunjukkan kepada kita bahwa langkah awal dalam mencapai keberhasilan belajar adalah memahami lebih dulu pengertian belajar secara teoritis dan praktek yang nyata. Langkah berikutnya di dalam mencapai keberhasilan belajar tsb adalah dengan memahami dan menerapkan prinsip-prinsip belajar yang benar.  Beberapa prinsip belajar yang perlu dipahami dan diterapkan, di antaranya adalah sebagai berikut:  1.Belajar harus berorientasi pada tujuan yang jelas (dalam bentuk kemampuan yang nyata).   2.Proses belajar baru benar-benar terjadi jika seseorang dihadapkan pada situasi problematis.   3.Belajar dengan pemahaman akan lebih bermakna daripada belajar hafalan.   4.Belajar merupakan proses yang kontinyu.   5.Belajar memerlukan kemauan yang kuat.   6.Keberhasilan belajar dipengaruhi banyak faktor yang secara garis besarnya terdiri dari 2 faktor yaitu faktor internal yang berupa potensi pribadi dari orang ybs dan faktor eksternal, yaitu segala macam fasilitas yang menunjang individu ybs dalam belajar.   7.Belajar akan lebih berhasil jika dilakukan secara menyeluruh lebih dulu, dan baru kemudian memahami bagian-bagain dari keseluruhan tsb.   8.Proses belajar memerlukan metode yang sesuai dengan kepribadian orang ybs.   9.Belajar memerlukan kesesuaian antara guru dan murid.   10.Belajar memerlukan kemampuan dalam menangkap intisari dari materi yang dipelajari. 
Manfaat pemahaman dan penerapan prinsip belajar
     Jika seseorang sudah memahami benar definisi dari proses belajar dan kemudian menjalani proses belajar itu dengan prinsip-prinsip yang benar maka ia akan dapat memperoleh manfaat-manfaat sbb:
     1.Mampu belajar dengan kesadaran sendiri tanpa harus disuruh orang tua guru atau dosen dan tanpa harus menunggu diberi PR, tugas  atau menghadapi ujian    2.Belajar yang dilandasi kesadaran sendiri untuk mencapai kemampuan tsb akan membuat seseorang mampu belajar dengan motiuvasi yang tinggi tanpa rasa terpaksa dan bahkan lebih dari itu dengan ikhlas dan rasa gembira.   3.Memperoleh kemampuan belajar secara autodidak yang dikombinasikan dengan hasil belajar di sekolah.   4.Kreatifitas meningkat yang ditandai dengan kemampuan mengembangkan dan memanfaatkan kemampuan yang sudah diperoleh di sekolah.   5.Kreatifitas yang meningkat dan pada saatnya nanti akan membuat individu ybs bisa menciptakan pekerjaan sendiri yang mungkin saja bisa diperolehnya sebelum tamat sekolah.
http://a0infoxxxpenting.blogdetik.com/tag/kegagalan/



Mengasah Kata Hati Untuk Mengambil Keputusan
Dalam sebuah meeting untuk mengambil keputusan tentang promosi, terasa sekali betapa manajemen puncak bimbang dalam mengambil keputusan. Ada pimpinan yang bersikap super tegas dengan mengandalkan pengukuran kinerja yang objektif dan terukur. Ada juga pimpinan yang memberi pertimbangan berdasarkan hal lain, seperti loyalitas karyawan lama, perasaan karyawan yang sudah berusaha mati-matian, namun tidak mendapatkan hasil cemerlang karena situasi pasar maupun talenta yang memang tidak seberbakat temannya. Salah seorang manajemen puncak mengatakan, ”Keputusan harus mempertimbangkan yang obyektif dan faktual dengan faktor politis”. Ya, meskipun kita kerap menekankan pentingnya objektivitas dan keterukuran, namun apa jadinya bila “kata hati” tidak didengarkan?
Bila individu tidak menggunakan kata hatinya, maka pengambilan keputusan menjadi sangat mudah dan tidak berperasaan. Kita tentu miris juga bila melihat proses penggusuran yang dilakukan tanpa pandang bulu, atau, kenaikan biaya pendidikan yang seolah hanya berorientasi bisnis dan tidak mempertimbangkan kesempatan bagi siswa dari keluarga yang kurang mampu. Sebaliknya, ketika seorang pemimpin ragu dan ingin mempertimbangkan aspek-aspek di luar yang terukur, maka ada proses tanya jawab dengan kata hatinya.
Kita menyaksikan betapa beberapa tokoh mengelak dan membela diri, bahkan berbohong di persidangan atau konferensi pers dengan begitu ringan dan terasa tanpa rasa bersalah. Kita jadi bertanya-tanya, bagaimana mekanisme individu mendengarkan kata hatinya? Apakah pada setiap individu, ukuran kata hati berbeda-beda? Ada orang yang langsung resign dari kursi empuknya ketika dituduh mendapat rumah gratis dari perusahaan properti, tetapi ada juga orang yang sudah telak-telak bersalah, tetapi masih dengan lantang mondar-mandir di publik dengan mengatakan: ”Saya tidak bersalah”. Apakah kata hati kadang bekerja, kadang tidak? Bagaimana mengasah agar kata hati terus tajam dan membantu kita dalam mengambil tindakan dan keputusan?
Melandasi keputusan dengan misi yang etis
Belajar dari situasi di Jepang, kita bisa melihat betapa begitu banyak pertimbangan yang dilakukan pemerintah dalam menangani bahaya peledakan nuklir di Okuma. Pemerintah perlu menjaga informasi agar tidak menimbulkan kepanikan, tetapi juga berusaha agar tidak satu pun rakyat Jepang menderita karena dampak radiasi yang mungkin terjadi akibat rusaknya pusat tenaga nuklir ini, setahun yang lalu. Pemerintah Jepang bahkan mengijinkan pihak independen untuk meninjau lapangan untuk mendapatkan evaluasi obyektif mengenai kondisinya.
Bisakah kita membayangkan betapa beratnya pejabat-pejabat negara itu untuk mendapatkan keseimbangan  dalam pengambilan keputusan? Siapa yang akan dibela? Gengsi atau uang negara? Ekonomi yang macet karena penduduk harus diungsikan? Atau, pertahanan negara? Apa misinya dan seberapa etiskah misi ini diperjuangkan?
Dalam bisnis, banyak orang berpendapat bahwa uang, produktivitas, dan kinerja adalah landasan yang “ultimate”. Namun, bisakah kita membayangkan seorang CEO yang tidak mempunyai pertimbangan bagaimana mempengaruhi anak buahnya untuk menjadi orang berintegritas? Bila kita mengamati pemimpin yang kita kagumi, kita selalu akan melihatnya sebagai orang yang tidak saja mengambil keputusan bisnis yang tepat, tetapi juga mempunyai misi yang jelas terhadap hal-hal yang tidak teraga seperti trust, kreativitas, fokus, kecepatan, fleksibilitas, loyalitas dan komitmen.
Seorang CEO sebuah bank terkenal bahkan bisa menjamin bahwa dengan menguatkan integritas karyawan di perusahaan, NPL alias kredit macet bisa dikurangi. Kata hati individu bekerja pada saat individu dibingungkan apakah benar-salahnya suatu keputusan dilandasi pada pertimbangan kebaikan, kepantasan, fairness, dan kemanusiaan yang optimal. Inilah misi yang perlu dipegang teguh dalam pengambilan keputusan, apalagi oleh pimpinan dan pejabat “C-level” di perusahaan.

Menguatkan kata hati

Kuat-tidaknya kata hati seseorang bisa
menggambarkan kekuatan karakternya. Ada orang yang tidak mampu memenangkan kata hatinya, karena adanya tekanan dari otoritas. Ada orang yang perlu mengalahkan kata hatinya karena tugas negara. Ada pula orang yang sengaja tidak mau mendengarkan kata hatinya karena serakah. Bisa juga kata hati tidak dilatih untuk berbicara dan didengar, sehingga seorang individu terlihat berinteligensi emosi rendah. Individu yang berkatahati kuat melakukan hal yang benar bukan karena aturan atau perintah, tetapi karena hal ini memang dianggapnya benar. Pertanyaannya, bagaimana individu mengasah dan mengembangkan kata hatinya?
Seorang ahli manajemen mengatakan bahwa tumbuhnya karakter berkata hati, dimulai dari tanggung jawab. Pimpinan yang bertanggung jawab terhadap suatu kejadian dan tidak asal cuci tangan, terbukti bersahabat dengan kata hatinya. Tanggung jawabnya tidak sebatas konsekuensi yang terlihat saja, tetapi kepada intensi, kehendak, dan keterlibatan dari para pelaku yang menjadi tanggung jawabnya. Orang yang bertanggungjawab penuh juga biasanya terlihat mematuhi aturan, biasa antri, mau mengikuti aturan lalu lintas. Bila ia dokter, ia akan mengikuti etika dan kaidah praktik kedokteran yang benar. Bila ia ahli hukum, maka etika penegak hukum pun akan dijadikan patokan perilaku.
Kepatuhan pada aturan ini mempermudah seseorang untuk membangun pagar yang jelas antara baik dan buruk, sehingga ketika ia mengambil keputusan, kata hatinya pun dengan mudah membantunya membuat alasan moral yang tepat untuk kebaikan diri, masyarakat dan negara.


           7 Cara Melawan Rasa Tak Mampu
Liburan akhir tahun sudah lewat, dan tahun baru sudah berjalan. Kini saatnya untuk kembali ke pekerjaan dan aktivitas Anda sehari-hari dengan lebih produktif dan bersemangat. Tetapkan komitmen bahwa tahun ini akan lebih baik daripada tahun sebelumnya. Mari memulai!
1. Anda pasti bisa. Jangan pernah menganggap diri tak mampu melakukan suatu pekerjaan, karena Anda pasti bisa. Bagi banyak orang, tekanan justru bisa menjadi pendorong untuk bisa lebih maju dan berkembang. Yang harus dilakukan adalah mengontrol manajemen waktu Anda, mengatur tingkat stres, dan menghilangkan hambatan dalam pekerjaan dengan cara Anda. Anda mampu melakukan berbagai hal dengan baik, karena itu jangan langsung menyerah sebelum mencoba. Percaya diri dengan kemampuan Anda, dan belajar untuk menyelesaikan semua tugas tersebut dengan baik.
2. Tentukan target. Untuk mencapai hasil pekerjaan yang maksimal, tentukan target yang ingin Anda capai dalam bekerja. Namun, tentukan target yang terukur, dan sesuai kemampuan, agar Anda mampu merealisasikannya. Hal ini termasuk target waktu, berapa lama Anda dapat mencapai tujuan Anda. Adanya target dalam pekerjaan membuat Anda akan sedikit memiliki tekanan, dan membuat Anda lebih serius dan lebih produktif dalam melakukan pekerjaan.
3. Memotivasi diri. Seringkali zona nyaman dalam pekerjaan membuat Anda terbuai dan tidak produktif bekerja. Motivasi dan tantangan dalam bekerja merupakan pemicu penting untuk meningkatkan produktivitas, sehingga Anda bisa fokus untuk mencapai tujuan pribadi maupun profesional. Banyak hal kecil di sekitar Anda yang sebenarnya bisa menginspirasi serta memotivasi Anda untuk bekerja lebih baik lagi.
4. Jangan mencari alasan. Setiap orang memiliki alasan mengapa mereka tidak bisa mencapai tujuan, atau memenuhi target mereka masing-masing. Misalnya, Anda tidak bisa berkonsentrasi menyelesaikan tugas karena banyak tukang yang sedang merenovasi ruang rapat di kantor. Ini bukan alasan yang tepat untuk mengendurkan pekerjaan. Anda harus berhenti mencari alasan untuk setiap kegagalan yang Anda buat sendiri. Carilah solusi yang dapat Anda lakukan agar pekerjaan bisa berjalan dengan baik, karena Anda lah yang memegang kontrol atas diri Anda dan pekerjaan Anda.
5. Hilangkan kata “tidak bisa” dari kamus Anda. Kata-kata “tidak mampu” atau “tidak bisa” memiliki makna bahwa Anda secara fisik tidak bisa melakukan apapun. Namun hal ini mungkin juga menjadi kode bahwa “saya tidak mau melakukannya” atau “ini pekerjaan yang terlalu melelahkan”. Sebenarnya Anda harus menghilangkan kata-kata tersebut dalam pikiran jika Anda ingin mencapai tujuan dan target Anda. Kata-kata memiliki pengaruh yang besar bagi psikologis Anda. Ketika Anda berkata mampu melakukan sesuatu, selalu ada solusi untuk membantu Anda mengerjakan tugas-tugas.
6. Berusaha yang terbaik. Untuk medapatkan yang terbaik dan produktif dalam bekerja, Anda harus benar-benar berkomitmen untuk bekerja lebih keras, dan mencari tahu apa yang bisa memotivasi Anda. Berkomitmenlah untuk bersikap proaktif, berani ambil resiko, dan menghilangkan alasan-alasan. Jika Anda tidak berkomitmen untuk membuat perubahan, maka segala sesuatunya akan selalu tetap sama.
7. Lakukan sekarang. Jangan terus-menerus mengulur waktu untuk memulai berbagai hal baik dalam bekerja. Lakukan sekarang juga agar Anda semakin mudah untuk mendapatkan tujuan, dan semakin produktif bekerja untuk meningkatkan karier.


Mengatasi Depresi pada Remaja

Orang bilang, masa remaja itu masa yang paling indah. Pernyataan ini bisa benar bisa juga tidak tergantung dari kaca mata yang melihat dan mengalaminya. Namun ada beberapa persoalan yang biasanya dialami ABG, alias Anak Baru Gede, sebagai implikasi dari pertumbuhannya. Persoalan ini bisa dibilang unavoidable problem namun belum tentu tidak bisa di selesaikan. Persoalan yang unavoidable dan unresolved itu lah yang membuat remaja bisa tenggelam dalam depresi. Mari kita simak, apa saja persoalan yang dihadapi remaja.
Panggilan menemukan jati diri
Remaja adalah masa transisi perkembangan fisik dan mental yang terjadi antara masa anak-anak dan masa dewasa. Kalau kembali lagi ke teorinya Erik Erikson, masalah yang paling dekat dengan para remaja adalah search for identity (dorongan untuk unjuk diri, pencarian identitas) dan role confusion (menghadapi kebingungan peran). Remaja di sini, menurut Erikson, adalah anak yang sudah mulai masuk umur 12 sampai 18 tahun (Human Development, James W. Wander Zender, 1989).
Satu sisi, mereka punya dorongan untuk menunjukkan siapa dirinya, tetapi di sisi lain, mereka belum memiliki kemampuan untuk membuktikan siapa dirinya. Mereka ingin dipandang, tetapi orangtua belum memiliki alasan untuk memandangnya. Mereka ingin dibebaskan, tetapi orangtua masih meragukan konsistensinya. Inilah yang kerap memicu bentrokan dalam keluarga. Bentrokan ini yang memicu stress yang dialami remaja. Jikalau persoalan ini berlarut-larut dan tidak ada jalan keluar yang tepat, tidak tertutup kemungkinan remaja itu bisa mengalami depresi.
Urusan cinta
Masalah lainnya adalah urusan cinta (puberty). Mau kita menyebutnya cinta monyet atau cinta apa, mereka berhadapan dengan persoalan ini. Apesnya, tidak semua remaja dibekali persiapan menghadapinya. Banyak kaum ibu yang dibikin pusing tujuh keliling karena memikirkan anaknya yang jatuh cinta, sms tengah malam, mbolos sekolah, atau membengkakkan tagihan telepon rumah. Lebih-lebih jika si anak jatuh cintanya pada teman yang menurut orang tua “kurang pas” bibit-bebet-bobot nya. Akan lebih ruwet lagi jika mereka sudah menjalin hubungan yang sangat jauh dari perkiraan kita. Ruwetnya urusan cinta juga termasuk sumber masalah.
Secara Psikologi, munculnya semarak bercinta pada remaja itu bisa ganda. Ada yang positif dan ada yang negatif. Yang positif misalnya: mereka bisa merasakan sensasinya cinta, cinta menyemangati pertumbuhannya, memunculkan kemerdekaan dalam hidupnya, menghadirkan dukungan, dorongan, dan perlakuan yang menyenangkan, dan yang lebih penting lagi, cinta membuat mereka merasa menjadi orang penting dan spesial. Sedangkan yang negatif antara lain: cinta memunculkan cemburu, dendam, posesivitas, dorongan ingin mengendalikan kebebasan pasangan, depresi, dan mengundang potensi bunuh diri karena ketakutan atau kekhawatiran akan kehilangan orang tersayang (Psychology & Life: Philip G. Zimbardo, 1979)
Tuntutan prestasi
Hal lain yang juga ikut menjadi sumber masalah remaja adalah standar prestasi yang terlalu tinggi dan terlalu mengancam dirinya, entah itu yang ditetapkan orangtua, lembaga atau lingkungan. Sekedar untuk masukan, kata para aktivitas anak, sekarang ini banyak remaja dari keluarga ekonomi menengah-bawah yang cepat stress atau depresi karena terlalu sering disuguhi tayangan yang menunjukkan kemewahan materi. Secara mindset, jika tanpa bimbingan, mereka mudah berpikir kalau tidak kaya dan tidak mewah, hidup ini tidak ada harganya. Low self esteem adalah persoalan yang gampang memicu stress.
“Lho, apa tidak boleh kita memberikan standar prestasi yang tinggi pada anak? Bukankah itu malah bagus?” Kalau melihat di prakteknya, ini bisa sangat bagus dan bisa berpotensi untuk kurang bagus (minimalnya untuk periode tertentu). Bagus dan kurang bagusnya seringkali bukan tergantung pada tingginya standar prestasi, melainkan tergantung model pola asuh yang kita terapkan.
Jika standar yang tinggi itu kita maksudkan untuk menyemangati tekad dan visinya dalam berprestasi, kita sesuaikan dengan kelebihan, perkembangan, dan keadaan (anak dan orangtua), plus kita sediakan ruang untuk melatih kemandirian, tanggung jawab, dan kebebasannya, ini sangat bagus. Bukti-buktinya mudah kita temukan di lapangan. Menurut teori parenting-nya, ini biasa disebut dengan istilah otoritatif. Orangtua punya posisi kuat untuk menegaskan arahan, namun tetap memberikan ruang kreativitas untuk si anak agar meng-eksplorasi potensinya. Istilah jawa-nya, orangtua memegang kakinya dan membebaskan kepalanya.
Yang sering menimbulkan stress, atau bahkan depresi, adalah ketika standar prestasi yang tinggi itu dipatok dari atas demi tuntutan persaingan orang dewasa. Ini mungkin mirip seperti seorang pandai besi yang memukul dan membakar besi untuk dibentuk sesuai seleranya. Lebih-lebih jika si anak merasa perlu untuk memberontak atau menolak karena tidak sesuai dengan kemampuannya atau seleranya. Jika ini masih ditambah dengan respon orangtua yang negatif, misalnya ngomel, mengancam, atau memboikot uang saku, bukan tidak mungkin anak terkena depresi. Menurut teori parenting-nya, pola asuh ini biasa disebut otoritarian.
Depresi & Percobaan Bunuh Diri
Di masyarakat kita, jangan kan bunuh diri, percobaan bunuh diri saja sudah termasuk kejadian luar biasa (extraordinary cases). Lebih-lebih jika itu remaja yang melakukannya. Ini mungkin agak beda dengan di Jepang, seperti yang dijadikan landasan temuan Durkheim tentang bunuh diri (Suicide, 1897). Di Jepang, ada fenomena bunuh diri yang disebut altruistic suicide atau praktek bunuh diri yang terjadi karena adanya ikatan dan tuntutan masyarakat sekitar (tradisi).
Meski termasuk kejadian luar biasa atau eksepsional, tetapi sebagai wawasan tidak ada salahnya juga kalau kita mulai menyadari bahwa hubungan antara remaja, depresi, dan percobaan bunuh diri adalah sesuatu yang memiliki penjelasan cukup rasional. Ini tidak hanya terjadi di negara luar sana. Di kita pun begitu. Kesalahan orang dewasa, kata Kak Seto dan kawan-kawan, adalah meremehkan atau tidak menyadarinya.
Bentuk sikap meremehkan itu misalnya kita berpikir bahwa remaja itu tidak mungkin terkena stress apalagi depresi. “Apa sih yang dipikirin mereka? Makan tinggal makan, uang tinggal minta, cinta belum saatnya, mau apa-apa tinggal bilang ke orangtua?” Dengan bersikap seperti itu, maka sangat mudah kita membiarkan mereka menyusuri jalan gelap sendirian. Atau bahkan malah menekan mereka sehingga terjadi akumulasi depresi.
Berbagai surat kabar atau televisi sudah sering menayangkan praktek dan percobaan bunuh-diri yang dilakukan remaja. Terkadang sebabnya sepele menurut kita. Mungkin, karena sudah mengakumulasi, akhirnya hal-hal yang sepele itu menjadi besar yang tidak disadari akibatnya. Di Jawa Timur misalnya ada remaja yang bunuh diri karena diputus pacar. Di Jawa tengah seorang remaja melakukan percobaan bunuh diri karena menghabiskan uang SPP. Di Bali, seorang remaja mau gantung diri karena nilai UN-nya jeblok dan takut dimarahi orangtua. Motif merek ada yang karena sudah buntu dan ada yang karena mencari perhatian.
Sejumlah faktor yang mendorong bunuh diri pada remaja*
(1) Depresi berskala tinggi
(2) Penyalahgunaan narkoba
(3) Kehampaan dukungan orangtua
(4) Konflik hubungan
(5) Penyakit kejiwaan
(6) Gagal di sekolah
(7) Kehilangan orang tercinta dalam hidupnya
(8) Pengangguran (tidak sekolah, tidak kerja, tidak punya aktivitas apa-apa)
(9) Perfeksionis yang tidak rasional
*) Dari berbagai sumber
Dari observasi para ahli di lapangan, dan ini sudah sering ditayangkan di media, jarak antara mereka ingin melakukan percobaan dan takut melakukan percobaan, itu katanya sangat tipis dan biasanya hanya beberapa menit. Kenapa jarak menjadi tipis dan sebentar? Salah satu alasannya adalah karena depresi dan belum tahu bagaimana mengatasi depresi secara positif ditambah lagi dengan lingkungan yang kurang mendukung.
Dengan kata lain, kalau kita menyadari bahwa hubungan antara remaja, depresi, dan percobaan bunuh diri itu adalah sesuatu yang sangat mungkin relevan, maka kesadaran ini sangat berpotensi mendorong kita untuk lebih peduli, lebih hati-hati, dan lebih dekat. Ini akan beda dengan ketika kita terus berusaha menafikan atau me-masabodoh-kan. Biasanya, kalau kita sudah menganggap tidak ada sesuatu yang ada, antisipasi kita sulit untuk muncul.
Darimana Mulai Membantu Mereka?
Tentu, normalnya, tidak ada orangtua yang rela melihat anak remajanya terkena depresi. Stres pun kalau bisa jangan. Lebih-lebih sampai melakukan percobaan bunuh-diri. Membayangkannya saja sudah ngeri. Pertanyaan yang butuh jawaban adalah, apa saja yang bisa dilakukan orangtua agar si anak terhindar dari stress berat (depresi) atau bagaimana mengembangkan kemampuan anak dalam menghadapi kejutan buruk (sumber depresi) yang notebene itu adalah pengalaman baru bagi mereka?
Kalau melihat akar depresi, entah itu untuk remaja atau orangtua, depresi itu berakar dari ketidaksiapan dalam menghadapi kenyataan. Bedanya, orangtua sudah memiliki referensi banyak dalam menghadapinya, sementara remaja referensinya sedikit. Jika ini ditambah dengan sikap tidak peduli dari orangtua, sempurnalah kebingungannya. Beberapa tanda depresi yang bisa kita kenali pada kehidupan anak remaja antara lain:
* Ada perubahan yang sangat mencolok pada pola makan (malas makan atau ingin makan terus) dan pola tidur
* Mengalami perubahan mood secara dramatis, cepat marah, cepat tersinggung, cepat menyendiri atau terlalu reaktif
* Terlibat dalam penyalahgunaan narkoba
* Mengalami penurunan prestasi di sekolah
* Kurang bergairah untuk menciptakan masa depan yang cemerlang
* Menarik diri dari keluarga atau orang-orang yang dianggap mau mengontrolnya
* Menunjukkan aura keputusasaan, ketidakbahagiaan, atau rasa bersalah (takut)
Sikap peduli seperti apa yang dapat membantu mereka? Sebagai penegasan terhadap apa yang sudah kita ketahui, kita bisa melakukan langkah-langkah di bawah ini:
* Berbicaralah empat mata dan nyatakan perhatian dan kepedulian
Remaja biasanya malas kalau mendengar nasehat apalagi yang itu-itu melulu, namun jauh di lubuk hati mereka tetap membutuhkan perhatian dan kepedulian orang tua. Hanya saja, ukuran dan jenis perhatian dan sikap dalam menyatakan perhatian itu mungkin sudah mesti berbeda dari yang kita berikan ketika mereka masih anak-anak. Salah-salah, maksud baik kita malah di tolak hanya karena cara kita mengekspresikan kasih sayang, tidak pas dengan mereka. Ini bisa berbuntut panjang kalau orang tua salah menilai respon mereka sebagai wujud tidak sayang lagi pada orang tua. Tidak ada salahnya mencoba berbagai cara, sampai ketemu yang pas untuk kedua belah pihak.
* Jelaskan bahwa Anda mengamati tanda-tanda tertentu dan ingin mendengar penjelasannya
Menghadapi remaja, susah-susah gampang, perlu waktu dan kesabaran, tapi juga perlu logika rasional supaya orang tua tidak terbawa emosi atau salah menangkap arti. Kalau menghadapi remaja yang sedang sedih dan berubah menjadi pemurung, pendiam dan suka menarik diri, maka sikap dominan dan otoriter, memaksa mereka untuk berterus terang malah memperburuk hubungan. Sebaliknya, sikap terbuka membuat remaja melihat bahwa orang tua juga manusia. Kalau Anda cukup mau berbesar hati, Anda bisa menceritakan pengalaman buruk Anda di masa lalu, dan bagaimana rasanya waktu itu. Anda bisa cerita tanpa tendensi mempersuasi anak untuk mau cerita, atau mau “adu susah” dengan kesusahan anak. Yang Anda sampaikan intinya satu, yakni bahwa Anda mengerti bagaimana rasanya terpukul terbiru-biru, kecewa, sakit hati, shock, dsb karena Anda sudah pernah ada di sana (“it’s good to have someone during this terrible time”)
* Posisikan diri Anda untuk lebih mendengarkan
Oleh karenanya, menjadi teman dan penguat akan jauh lebih diperlukan dari pada sekedar nasehat apalagi menjadi hakim. Kehadiran Anda dengan sikap memahami, tanpa banyak berkata-kata pun, bagi mereka sesuatu yang menenangkan.
* Ajukan pertanyaan yang mendorong mereka untuk bercerita (eksploratif)
Namun kita sendiri juga harus siap mental dan emosional untuk menghadapi cerita anak. Mungkin anak merasa takut bercerita dan cemas jangan-jangan dia akan kena marah. Kalau Anda bisa menguasai diri dan bersikap rasional, Anda bisa melihat masalah yang dia ceritakan dengan obyektif dan kepala dingin. Anda bisa memisahkan antara perasaan Anda dengan solusi yang harus di ambil. Hargai keterbukaan dan kejujuran anak, karena bagi mereka yang mengalami depresi, bercerita dan berekspresi adalah hal yang sangat sulit.
* Pancinglah bagaimana solusi yang ia pikirkan dan bantulah mereka dengan sejumlah alternatif / solusi
Dengan memancing pola pikir anak untuk mencari solusi yang rasional, kita membimbing pola pikir anak keluar dari situasi “tidak ada jalan keluar” yang selama itu ada di dalam pikirannya. Jika anak ragu untuk mengambil keputusan, berikan pandangan mengenai plus minus tiap alternative yang ada, namun berikan keyakinan bahwa orang tua akan membantu mereka menghadapi apapun yang terjadi.
* Pikirkan langkah untuk mendapatkan bantuan profesional jika dibutuhkan
Hal-hal di atas bisa dilakukan selama stress dan depresi yang dialami belum dalam taraf berat, dimana anak masih bisa berkomunikasi dan mengekspresikan perasaannya. Namun, ada pula yang mengalami depresi berat hingga membutuhkan penanganan professional, seperti konselor atau psikolog yang bisa membantunya mengatasi depresinya setahap demi setahap sambil meluruskan kembali pola pikir yang keliru serta mengembalikan tujuan dan semangat hidupnya.
* Menghargai anak dan mempelajari kontribusi diri dalam masalah yang terjadi
Berpikirlah bahwa mereka itu adalah amanat (barang berharga yang dititipkan Tuhan) kepada kita, bukan berpikir sebagai pemilik sehingga memudahkan kita menjadi otoriter atau menekan dari atas. Ada kalanya, masalah yang membuat mereka depresi itu lah yang bisa membebaskan mereka dari belenggu pola pikir yang keliru. Ini semua kembali dari bagaimana orang tua menilai masalah yang dihadapi oleh anak. Jika kita merasa paling benar, maka most likely kita akan menilai masalah yang dihadapi anak kita 100% akibat kesalahan anak. Namun, jika kita berpikir hati-hati, bisa jadi kita sendiri kaget karena menyadari kontribusi kita terhadap masalah ini. Sehingga kita tidak bisa menyalahkan anak begitu saja, tapi mari sama-sama koreksi diri agar semua pihak bisa menemukan jalan yang lebih benar untuk mencapai tujuan hidup.
Sedangkan untuk memperkuat kemampuan mereka dalam menghadapi realitas, langkah yang bisa kita lakukan antara lain:
* Libatkan mereka dalam tanggungjawab atau peranan tertentu yang membuat mereka merasa berharga dan dihargai orangtua. Mulailah melibatkan mereka ke dalam beberapa keputusan keluarga
* Berilah kesempatan untuk belajar dari pengalaman hidupnya, namun tetap terkontrol dan proporsional: tidak terlalu dilepas dan juga tidak terlalu didikte
* Terus tanamkan nilai dengan cara yang kreatif. Bisa nilai agama atau kearifan lain. Namun cara paling efektif untuk menanamkan nilai, justru dari memberi contoh kongkrit melalui kehidupan yang kita jalankan sehari-hari. Bagaimana cara kita menghadapi masalah dan apa makna masalah buat kita, apa makna kegagalan dan bagaimana menyikapinya, itu semua akan jadi ajaran nilai kalau anak melihat langsung dari orang tuanya. Nilai yang kita tanamkan itu sama seperti benih yang kita sebar. Suatu saat, pasti akan tumbuh. Bedanya, ada yang cepat dan ada yang lambat. Jangan sampai kita cepat give up dalam menanamkan nilai karena merasa tidak didengar atau sering ditolak
* Tantanglah dengan berbagai rangsangan positif untuk memperbaiki logika, kreativitas dan kepercayaan-dirinya. Misalnya memberi bahan bacaan, mendiskusikan isu, mengembangkan bakat, dan lain-lain. Bahkan, dengan cara melibatkan mereka dalam keputusan keluarga, hal itu juga membantu logika dan kreativitas mereka.
* Jangan lupa menempuh cara-cara yang non-empiris, misalnya mendoakan mereka, menjauhkan mereka dari dana yang tidak halal, memperbanyak sedekah (menolong orang lain) atau menjalin silaturahmi dengan keluarga.


Membujuk adalah salah satu kemampuan paling penting yang diperlukan seseorang untuk membuat orang lain mengikuti kehendaknya. Kemampuan ini tak hanya dapat diterapkan di dunia kerja, tetapi juga di rumah, atau dalam kehidupan sosial lainnya. Mungkin Anda melihat tidak semua orang diberi kemampuan ini, namun sebenarnya membujuk bisa dipelajari.
Dengan mempelajari trik persuasi, Anda juga mengetahui kapan seseorang berusaha mempengaruhi Anda. Menurut Jay White, penulis kolom di DumbLittleMan.com, salah satu keuntungan terbesar yang akan Anda peroleh dengan memiliki kemampuan ini adalah, Anda tak akan kehilangan uang begitu Anda menyadari seorang petugas penjualan mendesak Anda membeli sesuatu yang tak Anda perlukan.
Inilah sembilan trik yang dapat Anda terapkan untuk dapat membujuk dan mempengaruhi orang lain:
1. Bercermin dengan orang lain. Lakukan hal ini dengan menirukan gerakan tangan, membungkukkan badan ke depan atau belakang, atau berbagai gerakan kepala dan lengan lainnya. Kadang-kadang kita melakukannya tanpa sadar, namun bila Anda menyadarinya, pelajari lebih lanjut. Beberapa hal yang perlu diingat adalah Anda harus melakukannya dengan halus, dan buat jeda sekitar 2-4 detik antara gerakan orang tersebut dengan gerakan Anda.
2. Kelangkaan. Inilah yang paling sering dilakukan seorang pembuat iklan. Kesempatan memiliki sesuatu terlihat sangat menarik ketika persediaan begitu terbatas. Hal ini akan berguna untuk orang yang memang sedang membutuhkan, namun yang lebih penting, inilah metode persuasi yang harus diwaspadai. Berhentilah, dan pertimbangkan seberapa sering Anda dipengaruhi berita bahwa sebuah produk sedang langka? Jika memang produk itu langka, tentu akan ada banyak permintaan untuk barang tersebut bukan?
3. Membalas budi. Ketika seseorang berbuat baik pada kita, kita sering merasa dituntut untuk melakukan sesuatu untuknya. Jadi, jika Anda ingin seseorang melakukan sesuatu untuk Anda, Anda bisa memberikan sesuatu yang baik untuknya lebih dulu. Di lingkungan rumah, misalnya, Anda bisa menawarkan untuk meminjamkan peralatan memasak, tangga, atau apa pun, kepada tetangga yang terlihat sedang membutuhkan. Tidak masalah kapan, atau dimana Anda melakukannya, kuncinya adalah menghargai hubungan yang ada.
4. Waktu yang tepat. Orang cenderung setuju atau menurut pada Anda ketika mereka merasakan kelelahan secara mental. Sebelum Anda meminta sesuatu pada seseorang yang mungkin tidak akan langsung disetujuinya, cobalah untuk menunggu sampai ada kesempatan dimana mereka baru saja melakukan sesuatu karena terdesak. Temui dia saat hendak pulang dari kantor, dan katakan apa yang Anda mau. Seringkali jawabannya adalah, “Besok deh, aku kerjakan.”
5. Keserasian. Teknik ini kerap digunakan para petugas penjualan. Seorang salespeople akan menjabat tangan Anda saat sedang bernegosiasi. Dalam benak kebanyakan orang, berjabat tangan artinya bersepakat, sehingga dengan melakukannya sebelum kesepakatan tercapai, petugas sales seolah sudah mendapatkan transaksi yang ia inginkan. Cara yang tepat untuk melakukannya pada kegiatan sehari-hari adalah membuat seseorang bertindak sebelum mereka memutuskan. Misalnya, Anda mengajak seorang teman jalan-jalan, dan Anda ingin menonton film (padahal sang teman sedang tidak ingin). Anda bisa langsung mengajaknya ke bioskop sementara teman Anda sedang membuat keputusan akan menonton atau tidak.
6. Obrolan yang cair. Saat sedang berbicara, seringkali kita menggunakan frasa seperti “Mm…” atau “Maksud saya…” dan kata-kata lain yang menimbulkan jeda di tengah pembicaraan. Hal seperti ini sebenarnya menunjukkan rasa kurang percaya diri kita, yang dengan sendirinya membuat kita kurang persuasif. Jika Anda yakin dengan apa yang Anda katakan, orang lain pun akan mudah terbujuk dengan apa pun yang Anda katakan.
7. Menggiring. Kita semua terlahir menjadi pengikut. Kita sering memperhatikan apa yang dilakukan orang lain sebelum kita bertindak, karena kita membutuhkan penerimaan dari orang lain. Secara sederhana, cara efektif untuk menggunakan kebiasaan ini adalah dengan menjadi pemimpin, membuat orang lain mengikuti Anda. Misalnya, Anda sedang menghadiri seminar, dan memilih duduk di tengah-tengah. Begitu seminar dimulai, sang MC meminta hadirin untuk mengisi bangku-bangku kosong di depan. Nah, cobalah untuk menjadi orang pertama yang menggiring orang lain untuk menempati bangku tersebut.
8. Benefit. Tunjukkan pada orang lain apa keuntungan bagi mereka jika melakukan tindakan yang Anda sarankan ini. Namun perhatikan apa yang Anda sampaikan. Anda harus mengatakannya dengan optimis, mendorong, dan menyenangkan mereka. Sikap pesimis dan mengkritik tidak akan membantu. Coba ingat bagaimana Obama memenangkan pemilu akhir tahun lalu. Kata kuncinya adalah “Yes, we can!”. Mengatakan hal-hal buruk tentang orang lain, seperti yang dilakukan John McCain, tidak akan membuat orang bersimpati.
9. Teman-teman dan penguasa. Kita cenderung akan mengikuti atau terbujuk oleh seseorang yang berada di posisi yang lebih tinggi. Ini menjadi contoh yang baik untuk waspada akan “serangan” persuasif yang sedang dilakukan terhadap Anda. Di pihak lain, menjadi cara yang baik pula bagi Anda untuk melakukannya pada orang lain karena Anda akan terkejut betapa mudah membuat orang menyukai Anda dan memperoleh kekuasaan di antara kelompok Anda.