Mengatasi Depresi pada Remaja
Orang bilang, masa remaja itu masa yang paling indah. Pernyataan
ini bisa benar bisa juga tidak tergantung dari kaca mata yang melihat dan
mengalaminya. Namun ada beberapa persoalan yang biasanya dialami ABG, alias
Anak Baru Gede, sebagai implikasi dari pertumbuhannya. Persoalan ini bisa
dibilang unavoidable problem namun belum tentu tidak bisa di selesaikan.
Persoalan yang unavoidable dan unresolved itu lah yang membuat remaja bisa
tenggelam dalam depresi. Mari kita simak, apa saja persoalan yang dihadapi
remaja.
Panggilan menemukan jati diri
Remaja adalah masa transisi perkembangan fisik dan mental yang
terjadi antara masa anak-anak dan masa dewasa. Kalau kembali lagi ke teorinya
Erik Erikson, masalah yang paling dekat dengan para remaja adalah search for
identity (dorongan untuk unjuk diri, pencarian identitas) dan role confusion
(menghadapi kebingungan peran). Remaja di sini, menurut Erikson, adalah anak
yang sudah mulai masuk umur 12 sampai 18 tahun (Human Development, James W.
Wander Zender, 1989).
Satu sisi, mereka punya dorongan untuk menunjukkan siapa
dirinya, tetapi di sisi lain, mereka belum memiliki kemampuan untuk membuktikan
siapa dirinya. Mereka ingin dipandang, tetapi orangtua belum memiliki alasan
untuk memandangnya. Mereka ingin dibebaskan, tetapi orangtua masih meragukan
konsistensinya. Inilah yang kerap memicu bentrokan dalam keluarga. Bentrokan
ini yang memicu stress yang dialami remaja. Jikalau persoalan ini
berlarut-larut dan tidak ada jalan keluar yang tepat, tidak tertutup
kemungkinan remaja itu bisa mengalami depresi.
Urusan cinta
Masalah lainnya adalah urusan cinta (puberty). Mau kita
menyebutnya cinta monyet atau cinta apa, mereka berhadapan dengan persoalan
ini. Apesnya, tidak semua remaja dibekali persiapan menghadapinya. Banyak kaum
ibu yang dibikin pusing tujuh keliling karena memikirkan anaknya yang jatuh
cinta, sms tengah malam, mbolos sekolah, atau membengkakkan tagihan telepon
rumah. Lebih-lebih jika si anak jatuh cintanya pada teman yang menurut orang
tua “kurang pas” bibit-bebet-bobot nya. Akan lebih ruwet lagi jika mereka sudah
menjalin hubungan yang sangat jauh dari perkiraan kita. Ruwetnya urusan cinta
juga termasuk sumber masalah.
Secara Psikologi, munculnya semarak bercinta pada remaja itu bisa
ganda. Ada yang positif dan ada yang negatif. Yang positif misalnya: mereka
bisa merasakan sensasinya cinta, cinta menyemangati pertumbuhannya, memunculkan
kemerdekaan dalam hidupnya, menghadirkan dukungan, dorongan, dan perlakuan yang
menyenangkan, dan yang lebih penting lagi, cinta membuat mereka merasa menjadi
orang penting dan spesial. Sedangkan yang negatif antara lain: cinta
memunculkan cemburu, dendam, posesivitas, dorongan ingin mengendalikan
kebebasan pasangan, depresi, dan mengundang potensi bunuh diri karena ketakutan
atau kekhawatiran akan kehilangan orang tersayang (Psychology & Life:
Philip G. Zimbardo, 1979)
Tuntutan prestasi
Hal lain yang juga ikut menjadi sumber masalah remaja adalah
standar prestasi yang terlalu tinggi dan terlalu mengancam dirinya, entah itu
yang ditetapkan orangtua, lembaga atau lingkungan. Sekedar untuk masukan, kata
para aktivitas anak, sekarang ini banyak remaja dari keluarga ekonomi
menengah-bawah yang cepat stress atau depresi karena terlalu sering disuguhi
tayangan yang menunjukkan kemewahan materi. Secara mindset, jika tanpa
bimbingan, mereka mudah berpikir kalau tidak kaya dan tidak mewah, hidup ini
tidak ada harganya. Low self esteem adalah persoalan yang gampang memicu
stress.
“Lho, apa tidak boleh kita memberikan standar prestasi yang
tinggi pada anak? Bukankah itu malah bagus?” Kalau melihat di prakteknya, ini
bisa sangat bagus dan bisa berpotensi untuk kurang bagus (minimalnya untuk
periode tertentu). Bagus dan kurang bagusnya seringkali bukan tergantung pada
tingginya standar prestasi, melainkan tergantung model pola asuh yang kita
terapkan.
Jika standar yang tinggi itu kita maksudkan untuk menyemangati
tekad dan visinya dalam berprestasi, kita sesuaikan dengan kelebihan,
perkembangan, dan keadaan (anak dan orangtua), plus kita sediakan ruang untuk
melatih kemandirian, tanggung jawab, dan kebebasannya, ini sangat bagus.
Bukti-buktinya mudah kita temukan di lapangan. Menurut teori parenting-nya, ini
biasa disebut dengan istilah otoritatif. Orangtua punya posisi kuat untuk
menegaskan arahan, namun tetap memberikan ruang kreativitas untuk si anak agar
meng-eksplorasi potensinya. Istilah jawa-nya, orangtua memegang kakinya dan
membebaskan kepalanya.
Yang sering menimbulkan stress, atau bahkan depresi, adalah
ketika standar prestasi yang tinggi itu dipatok dari atas demi tuntutan
persaingan orang dewasa. Ini mungkin mirip seperti seorang pandai besi yang
memukul dan membakar besi untuk dibentuk sesuai seleranya. Lebih-lebih jika si
anak merasa perlu untuk memberontak atau menolak karena tidak sesuai dengan
kemampuannya atau seleranya. Jika ini masih ditambah dengan respon orangtua
yang negatif, misalnya ngomel, mengancam, atau memboikot uang saku, bukan tidak
mungkin anak terkena depresi. Menurut teori parenting-nya, pola asuh ini biasa
disebut otoritarian.
Depresi & Percobaan Bunuh Diri
Di masyarakat kita, jangan kan bunuh diri, percobaan bunuh diri
saja sudah termasuk kejadian luar biasa (extraordinary cases). Lebih-lebih jika
itu remaja yang melakukannya. Ini mungkin agak beda dengan di Jepang, seperti
yang dijadikan landasan temuan Durkheim tentang bunuh diri (Suicide, 1897). Di
Jepang, ada fenomena bunuh diri yang disebut altruistic suicide atau praktek
bunuh diri yang terjadi karena adanya ikatan dan tuntutan masyarakat sekitar
(tradisi).
Meski termasuk kejadian luar biasa atau eksepsional, tetapi
sebagai wawasan tidak ada salahnya juga kalau kita mulai menyadari bahwa
hubungan antara remaja, depresi, dan percobaan bunuh diri adalah sesuatu yang
memiliki penjelasan cukup rasional. Ini tidak hanya terjadi di negara luar
sana. Di kita pun begitu. Kesalahan orang dewasa, kata Kak Seto dan
kawan-kawan, adalah meremehkan atau tidak menyadarinya.
Bentuk sikap meremehkan itu misalnya kita berpikir bahwa remaja
itu tidak mungkin terkena stress apalagi depresi. “Apa sih yang dipikirin
mereka? Makan tinggal makan, uang tinggal minta, cinta belum saatnya, mau
apa-apa tinggal bilang ke orangtua?” Dengan bersikap seperti itu, maka sangat
mudah kita membiarkan mereka menyusuri jalan gelap sendirian. Atau bahkan malah
menekan mereka sehingga terjadi akumulasi depresi.
Berbagai surat kabar atau televisi sudah sering menayangkan
praktek dan percobaan bunuh-diri yang dilakukan remaja. Terkadang sebabnya
sepele menurut kita. Mungkin, karena sudah mengakumulasi, akhirnya hal-hal yang
sepele itu menjadi besar yang tidak disadari akibatnya. Di Jawa Timur misalnya
ada remaja yang bunuh diri karena diputus pacar. Di Jawa tengah seorang remaja
melakukan percobaan bunuh diri karena menghabiskan uang SPP. Di Bali, seorang
remaja mau gantung diri karena nilai UN-nya jeblok dan takut dimarahi orangtua.
Motif merek ada yang karena sudah buntu dan ada yang karena mencari perhatian.
Sejumlah faktor yang mendorong bunuh diri pada remaja*
(1) Depresi berskala tinggi
(2) Penyalahgunaan narkoba
(3) Kehampaan dukungan orangtua
(4) Konflik hubungan
(5) Penyakit kejiwaan
(6) Gagal di sekolah
(7) Kehilangan orang tercinta dalam hidupnya
(8) Pengangguran (tidak sekolah, tidak kerja, tidak punya
aktivitas apa-apa)
(9) Perfeksionis yang tidak rasional
*) Dari berbagai sumber
Dari observasi para ahli di lapangan, dan ini sudah sering
ditayangkan di media, jarak antara mereka ingin melakukan percobaan dan takut
melakukan percobaan, itu katanya sangat tipis dan biasanya hanya beberapa
menit. Kenapa jarak menjadi tipis dan sebentar? Salah satu alasannya adalah
karena depresi dan belum tahu bagaimana mengatasi depresi secara positif
ditambah lagi dengan lingkungan yang kurang mendukung.
Dengan kata lain, kalau kita menyadari bahwa hubungan antara
remaja, depresi, dan percobaan bunuh diri itu adalah sesuatu yang sangat
mungkin relevan, maka kesadaran ini sangat berpotensi mendorong kita untuk
lebih peduli, lebih hati-hati, dan lebih dekat. Ini akan beda dengan ketika
kita terus berusaha menafikan atau me-masabodoh-kan. Biasanya, kalau kita sudah
menganggap tidak ada sesuatu yang ada, antisipasi kita sulit untuk muncul.
Darimana Mulai Membantu Mereka?
Tentu, normalnya, tidak ada orangtua yang rela melihat anak
remajanya terkena depresi. Stres pun kalau bisa jangan. Lebih-lebih sampai
melakukan percobaan bunuh-diri. Membayangkannya saja sudah ngeri. Pertanyaan
yang butuh jawaban adalah, apa saja yang bisa dilakukan orangtua agar si anak
terhindar dari stress berat (depresi) atau bagaimana mengembangkan kemampuan
anak dalam menghadapi kejutan buruk (sumber depresi) yang notebene itu adalah
pengalaman baru bagi mereka?
Kalau melihat akar depresi, entah itu untuk remaja atau
orangtua, depresi itu berakar dari ketidaksiapan dalam menghadapi kenyataan.
Bedanya, orangtua sudah memiliki referensi banyak dalam menghadapinya,
sementara remaja referensinya sedikit. Jika ini ditambah dengan sikap tidak
peduli dari orangtua, sempurnalah kebingungannya. Beberapa tanda depresi yang bisa
kita kenali pada kehidupan anak remaja antara lain:
* Ada perubahan yang sangat mencolok pada pola makan (malas
makan atau ingin makan terus) dan pola tidur
* Mengalami perubahan mood secara dramatis, cepat marah, cepat tersinggung, cepat menyendiri atau terlalu reaktif
* Terlibat dalam penyalahgunaan narkoba
* Mengalami perubahan mood secara dramatis, cepat marah, cepat tersinggung, cepat menyendiri atau terlalu reaktif
* Terlibat dalam penyalahgunaan narkoba
* Mengalami penurunan prestasi di sekolah
* Kurang bergairah untuk menciptakan masa depan yang cemerlang
* Menarik diri dari keluarga atau orang-orang yang dianggap mau
mengontrolnya
* Menunjukkan aura keputusasaan, ketidakbahagiaan, atau rasa
bersalah (takut)
Sikap peduli seperti apa yang dapat membantu mereka? Sebagai
penegasan terhadap apa yang sudah kita ketahui, kita bisa melakukan
langkah-langkah di bawah ini:
* Berbicaralah empat mata dan nyatakan perhatian dan kepedulian
Remaja biasanya malas kalau mendengar nasehat apalagi yang
itu-itu melulu, namun jauh di lubuk hati mereka tetap membutuhkan perhatian dan
kepedulian orang tua. Hanya saja, ukuran dan jenis perhatian dan sikap dalam
menyatakan perhatian itu mungkin sudah mesti berbeda dari yang kita berikan
ketika mereka masih anak-anak. Salah-salah, maksud baik kita malah di tolak
hanya karena cara kita mengekspresikan kasih sayang, tidak pas dengan mereka.
Ini bisa berbuntut panjang kalau orang tua salah menilai respon mereka sebagai
wujud tidak sayang lagi pada orang tua. Tidak ada salahnya mencoba berbagai
cara, sampai ketemu yang pas untuk kedua belah pihak.
* Jelaskan bahwa Anda mengamati tanda-tanda tertentu dan ingin
mendengar penjelasannya
Menghadapi remaja, susah-susah gampang, perlu waktu dan
kesabaran, tapi juga perlu logika rasional supaya orang tua tidak terbawa emosi
atau salah menangkap arti. Kalau menghadapi remaja yang sedang sedih dan
berubah menjadi pemurung, pendiam dan suka menarik diri, maka sikap dominan dan
otoriter, memaksa mereka untuk berterus terang malah memperburuk hubungan.
Sebaliknya, sikap terbuka membuat remaja melihat bahwa orang tua juga manusia.
Kalau Anda cukup mau berbesar hati, Anda bisa menceritakan pengalaman buruk
Anda di masa lalu, dan bagaimana rasanya waktu itu. Anda bisa cerita tanpa
tendensi mempersuasi anak untuk mau cerita, atau mau “adu susah” dengan
kesusahan anak. Yang Anda sampaikan intinya satu, yakni bahwa Anda mengerti
bagaimana rasanya terpukul terbiru-biru, kecewa, sakit hati, shock, dsb karena
Anda sudah pernah ada di sana (“it’s good to have someone during this terrible
time”)
* Posisikan diri Anda untuk lebih mendengarkan
Oleh karenanya, menjadi teman dan penguat akan jauh lebih
diperlukan dari pada sekedar nasehat apalagi menjadi hakim. Kehadiran Anda
dengan sikap memahami, tanpa banyak berkata-kata pun, bagi mereka sesuatu yang
menenangkan.
* Ajukan pertanyaan yang mendorong mereka untuk bercerita
(eksploratif)
Namun kita sendiri juga harus siap mental dan emosional untuk
menghadapi cerita anak. Mungkin anak merasa takut bercerita dan cemas
jangan-jangan dia akan kena marah. Kalau Anda bisa menguasai diri dan bersikap
rasional, Anda bisa melihat masalah yang dia ceritakan dengan obyektif dan
kepala dingin. Anda bisa memisahkan antara perasaan Anda dengan solusi yang
harus di ambil. Hargai keterbukaan dan kejujuran anak, karena bagi mereka yang
mengalami depresi, bercerita dan berekspresi adalah hal yang sangat sulit.
* Pancinglah bagaimana solusi yang ia pikirkan dan bantulah
mereka dengan sejumlah alternatif / solusi
Dengan memancing pola pikir anak untuk mencari solusi yang
rasional, kita membimbing pola pikir anak keluar dari situasi “tidak ada jalan
keluar” yang selama itu ada di dalam pikirannya. Jika anak ragu untuk mengambil
keputusan, berikan pandangan mengenai plus minus tiap alternative yang ada,
namun berikan keyakinan bahwa orang tua akan membantu mereka menghadapi apapun
yang terjadi.
* Pikirkan langkah untuk mendapatkan bantuan profesional jika
dibutuhkan
Hal-hal di atas bisa dilakukan selama stress dan depresi yang
dialami belum dalam taraf berat, dimana anak masih bisa berkomunikasi dan
mengekspresikan perasaannya. Namun, ada pula yang mengalami depresi berat
hingga membutuhkan penanganan professional, seperti konselor atau psikolog yang
bisa membantunya mengatasi depresinya setahap demi setahap sambil meluruskan
kembali pola pikir yang keliru serta mengembalikan tujuan dan semangat
hidupnya.
* Menghargai anak dan mempelajari kontribusi diri dalam masalah
yang terjadi
Berpikirlah bahwa mereka itu adalah amanat (barang berharga yang
dititipkan Tuhan) kepada kita, bukan berpikir sebagai pemilik sehingga
memudahkan kita menjadi otoriter atau menekan dari atas. Ada kalanya, masalah yang
membuat mereka depresi itu lah yang bisa membebaskan mereka dari belenggu pola
pikir yang keliru. Ini semua kembali dari bagaimana orang tua menilai masalah
yang dihadapi oleh anak. Jika kita merasa paling benar, maka most likely kita
akan menilai masalah yang dihadapi anak kita 100% akibat kesalahan anak. Namun,
jika kita berpikir hati-hati, bisa jadi kita sendiri kaget karena menyadari
kontribusi kita terhadap masalah ini. Sehingga kita tidak bisa menyalahkan anak
begitu saja, tapi mari sama-sama koreksi diri agar semua pihak bisa menemukan
jalan yang lebih benar untuk mencapai tujuan hidup.
Sedangkan untuk memperkuat kemampuan mereka dalam menghadapi
realitas, langkah yang bisa kita lakukan antara lain:
* Libatkan mereka dalam tanggungjawab atau peranan tertentu yang
membuat mereka merasa berharga dan dihargai orangtua. Mulailah melibatkan
mereka ke dalam beberapa keputusan keluarga
* Berilah kesempatan untuk belajar dari pengalaman hidupnya,
namun tetap terkontrol dan proporsional: tidak terlalu dilepas dan juga tidak
terlalu didikte
* Terus tanamkan nilai dengan cara yang kreatif. Bisa nilai
agama atau kearifan lain. Namun cara paling efektif untuk menanamkan nilai,
justru dari memberi contoh kongkrit melalui kehidupan yang kita jalankan
sehari-hari. Bagaimana cara kita menghadapi masalah dan apa makna masalah buat
kita, apa makna kegagalan dan bagaimana menyikapinya, itu semua akan jadi
ajaran nilai kalau anak melihat langsung dari orang tuanya. Nilai yang kita
tanamkan itu sama seperti benih yang kita sebar. Suatu saat, pasti akan tumbuh.
Bedanya, ada yang cepat dan ada yang lambat. Jangan sampai kita cepat give up
dalam menanamkan nilai karena merasa tidak didengar atau sering ditolak
* Tantanglah dengan berbagai rangsangan positif untuk memperbaiki
logika, kreativitas dan kepercayaan-dirinya. Misalnya memberi bahan bacaan,
mendiskusikan isu, mengembangkan bakat, dan lain-lain. Bahkan, dengan cara
melibatkan mereka dalam keputusan keluarga, hal itu juga membantu logika dan
kreativitas mereka.
* Jangan lupa menempuh cara-cara yang non-empiris, misalnya
mendoakan mereka, menjauhkan mereka dari dana yang tidak halal, memperbanyak
sedekah (menolong orang lain) atau menjalin silaturahmi dengan keluarga.
RSS Feed
Twitter
19.59
Mas Bae
Posted in 
0 komentar:
Posting Komentar