Senin, 23 Desember 2013

Ku berjalan terus tiada henti..
Seperti malam yang tak berujung.
Mencari sesuatu yang layak dicari..
Meski kabut pekat melekat dihati
Namun ku yakin hujan kan menghapusnya..

Masih tetap melangkahkan impian..
Demi asa yang tertunda..
Tenggelam oleh dunia fana..
Tergoreskan sebuah takdir..
Menjalani apa yang telah digariskan..

Detik demi detik terus berlari..
Waktu kian menjauhi diri
Tak pernah peduli
Apa pun yang terjadi
Hingga mentari tak lagi abadi
Seorang anak lelaki miskis yang kelaparan dan tidak memiliki uang. Dia nekad mengetuk pintu sebuah rumah untuk meminta makanan. Namun keberaniannya lenyap saat pintu dibuka oleh seorang gadis muda.

"Bolehkah saya meminta segelas air?" pinta anak lelaki itu. Dia urung meminta makanan.

Tapi sang gadis tahu bahwa anak ini pasti lapar. Maka, ia membawa segelas besar susu.

"Berapa harga segelas susu ini?" tanya anak lelaki itu.

"Ibu mengajarkan kepada saya untuk jangan meminta bayaran atas perbuatan baik kami," jawab si gadis.

“Aku berterima kasih dari hati yang paling dalam," balas anak lelaki itu setelah menghabiskan susu tersebut.

Belasan tahun berlalu. Gadis itu tumbuh menjadi wanita dewasa. Suatu hari dia di-diagnosa mempunyai penyakit kronis. Dokter di kota kecilnya angkat tangan.

Gadis malang itu pun dibawa ke kota besar di mana terdapat dokter spesialis. Dokter terkenal di rumah sakit itu dipanggil untuk memeriksanya. Saat mendengar nama kota asal wanita itu terbersit pancaran aneh di mata sang dokter. Bergegas ia turun dari kantornya menuju kamar wanita tersebut. Seketika dia mengenali wanita itu.
..

Segelas Susu
Seorang anak lelaki miskis yang kelaparan dan tidak memiliki uang. Dia nekad mengetuk pintu sebuah rumah untuk meminta makanan. Namun keberaniannya lenyap saat pintu dibuka oleh seorang gadis muda.

"Bolehkah saya meminta segelas air?" pinta anak lelaki itu. Dia urung meminta makanan.

Tapi sang gadis tahu bahwa anak ini pasti lapar. Maka, ia membawa segelas besar susu.

"Berapa harga segelas susu ini?" tanya anak lelaki itu.

"Ibu mengajarkan kepada saya untuk jangan meminta bayaran atas perbuatan baik kami," jawab si gadis.

“Aku berterima kasih dari hati yang paling dalam," balas anak lelaki itu setelah menghabiskan susu tersebut.

Belasan tahun berlalu. Gadis itu tumbuh menjadi wanita dewasa. Suatu hari dia di-diagnosa mempunyai penyakit kronis. Dokter di kota kecilnya angkat tangan.

Gadis malang itu pun dibawa ke kota besar di mana terdapat dokter spesialis. Dokter terkenal di rumah sakit itu dipanggil untuk memeriksanya. Saat mendengar nama kota asal wanita itu terbersit pancaran aneh di mata sang dokter. Bergegas ia turun dari kantornya menuju kamar wanita tersebut. Seketika dia mengenali wanita itu.


Setelah melalui perjuangan panjang akhirnya wanita itu berhasil disembuhkan. Menjelang kepulangannya, wanita itu pun menerima amplop berisi tagihan rumah sakit. Wajahnya pucat ketakutan karena dia yakin tidak akan mampu membayar. Meski dicicil seumur hidup sekalipun.

Tangannya gemetar ia membuka amplop itu. Di pojok atas tagihan itu dia menemukan sebuah catatan:
“TELAH DIBAYAR LUNAS DENGAN SEGELAS SUSU.” ditandatangani oleh anak lelaki miskin tersebut.

Jangan ragu berbuat baik dan jangan mengharap balasan. Pada akhirnya buah kebaikan akan selalu mengikuti kita. We will harvest what we plant.
Seorang anak mengeluh pada ayahnya tentang hidupnya yang sulit. Ia tidak tahu lagi harus berbuat apa dan ingin menyerah saja. Ia lelah berjuang. Setiap saat satu persoalan terpecahkan, persoalan yang lain muncul.
Ayahnya, seorang juru masak, tersenyum dan membawa anak perempuannya ke dapur. Ia lalu mengambil tiga buah panci, mengisinya masing-masing dengan air dan meletakkannya pada kompor yang menyala. Beberapa saat kemudian air dalam panci-panci itu mendidih. Pada panci pertama, ia memasukkan wortel. Lalu, pada panci kedua ia memasukkan telur. Dan, pada panci ketiga ia memasukkan beberapa biji kopi tumbuk. Ia membiarkan masing-masing mendidih.
Selama itu ia terdiam seribu bahasa. Sang anak menggereget gigi, tak sabar menunggu dan heran dengan apa yang dilakukan oleh ayahnya. Dua puluh menit kemudian, sang ayah mematikan api. Lalu menyiduk wortel dari dalam panci dan meletakkanya pada sebuah piring. Kemudian ia mengambil telur dan meletakkanya pada piring yang sama. Terakhir ia menyaring kopi yang diletakkan pada piring itu juga.
Ia lalu menoleh pada anaknya dan bertanya, “Apa yang kau lihat, nak?”
“Wortel, telur, dan kopi, ” jawab sang anak. Ia membimbing anaknya mendekat dan memintanya untuk memegang wortel. Anak itu melakukan apa yang diminta dan mengatakan bahwa wortel itu terasa lunak.
Kemudian sang ayah meminta anaknya memecah telur. Setelah telur itu dipecah dan dikupas, sang anak mengatakan bahwa telur rebus itu kini terasa keras.
Kemudian sang ayah meminta anak itu mencicipi kopi. Sang anak tersenyum saat mencicipi aroma kopi yang sedap itu. “Apa maksud semua ini, ayah?” tanya sang anak.
Sang ayah menjelaskan bahwa setiap benda tadi telah mengalami hal yang sama, yaitu direbus dalam air mendidih, tetapi selepas perebusan itu mereka berubah menjadi sesuatu yang berbeda-beda. Wortel yang semula kuat dan keras, setelah direbus dalam air mendidih, berubah menjadi lunak dan lemah.
Sedangkan telur, sebaliknya, yang semula mudah pecah, kini setelah direbus menjadi keras dan kokoh.
Sedangkan biji kopi tumbuh berubah menjadi sangat unik. Biji kopi, setelah direbus, malah mengubah air yang merebusnya itu.
Maka, yang manakah dirimu?” tanya sang ayah pada anaknya. “Di saat kesulitan menghadang langkahmu, perubahan apa yang terjadi pada dirimu? Apakah kau menjadi sebatang wortel, sebutir telur atau biji kopi?”
"Sangkan Paraning Dumadi’ yang secara harfiah dapat diartikan sebagai suatu ungkapan filosofi "asal dan tujuan manusia" sudah lama menjadi suatu kalimat yang menggelitik saya dan sering membuat saya mendadak berhenti dalam saat-saat tertentu kehidupan saya, bukan lagi untuk memperkenalnya namun mengenalnya lebih jauh dengan keinginan untuk mengetahui sekaligus menerapkan apa sebenarnya makna terdalamnya dan darimana Wong Jowo mengenal ungkapan nan indah itu. Kesempatan untuk lebih jauh menelusuri "Sangkan Paraning Dumadi" pun kemudian mencuat kembali di akhir abad ke-20 ketika huru-hara melanda Negeri Indonesia yang katanya terkenal ramah tamah ini. Simbol-simbol keramahtamahan itu tiba-tiba berantakan begitu saja di bawah asap dan api yang menggelora, membumi hanguskan Jakarta dan Indonesia. Zaman huru-hara dimulai (lagi), peribahasa Sangkan Paraning Dumadi tiba-tiba teraktualisasikan kembali melalui firman Kun fa Yakuun karena di saat yang sama saya pun sedang menelusuri makna firman Tuhan yang tercantum dalam QS 36:82 itu, yang menyembunyikan rahasia terselubung dari kemanusiaan dan kemukminan saya sebagai penganut Agama Islam.
Apa sebenarnya arti Sangkan Paraning Dumadi yang secara harfiah umumnya kita pahami sebagai "Asal dan Tujuan Manusia"? Cukup sulit juga saya mencari literatur tentang filsafat Jawa yang bagus yang menjelaskan makna kalimat sakral tersebut. Umumnya, berbagai pengetahuan tentang filsafat Jawa hanya sepintas-sepintas saja saya ketahui dari buku Koentjaraninggrat, antropolog terkenal Indonesia yang menulis buku tentang mentalitas bangsa Indonesia yang dulu pernah menjadi pegangan pelajaran etika di Perguruan Tinggi. Setelah beberapa waktu, akhirnya saya menemukan buku kecil yang cukup ringkas yang menjelaskan filsafat Jawa lengkap dengan huruf-hurufnya yang bagi saya mulai terlihat ajaib.
Terus terang kesan ajaib itu muncul setelah risalah Kun fa Yakuun selesai di tulis dan sedang dalam renovasi untuk diubah menjadi 4 buku dan 1 buku puisi. Entah kenapa Buku Pertama dari Kun Fa Yakuun saya beri sub-judul "Sangkan Paraning Dumadi" sebagai titik tolak penguraian "Kun fa Yakuun". Keduanya nampaknya saling bersanding kalau tidak malah suatu keniscayaan bahwa ungkapan filosofis "Sang Paraning Dumadi" dan firman "Kun fa Yakuun" bersumber pada satu sumber mata air yang sama, yang dulu di zaman Yunani juga pernah diungkapkan sebagai "Que Sera-sera" yang jadi kata pembuka lembaran tesis sarjana saya dulu.
Ungkapan-ungkapan metaforis filosofis masa kini yang kita kenal, memang sejatinya banyak yang berasal dari ujar-ujar kaum filsuf Yunani. Sebagai contoh, ungkapan "Telur dan ayam mana duluan?" yang sering membuat orang senewen berasal dari zaman Aristoteles yang menjalar sepanjang zaman yang sejatinya berkaitan dengan titik tolak penciptan makhluk. Demikian juga, "segalanya mengalir" atau "Pantha Rei", "dari titik menjadi garis", dan lain sebagainya banyak berasal dari kajian-kajian filosofis masa lalu yang mungkin hanya dikenal oleh anak-anak yang belajar filsafat saja. Yunani dulu terkenal sebagai Kerajaan Pikiran yang pernah ada di Planet Bumi dengan tokoh-tokohnya yang terkenal seperti Thales, Phytagoras, Socrates, Plato, Aristoteles, Plotinus, dan di masa akhir kejayaannya terdapat seorang wanita legendaris dari Aleksandria Mesir yang menjadi Guru Neoplatonis dan ahli matematika di Perpustakaan Aleksandria, yang mati dengan tragis karena kedengkian suatu kaum kepada kaum lainnya yaitu Hiphatya (370-415 M). Membaca riwayat Hiphatya di Internet seperti membaca kisah-kisah klasik masa lalu, dimana peran wanita meskipun termasuk kalangan yang tertindas sesungguhnya memiliki signifikansi yang erat dalam sejarah peradaban manusia sebagai tokoh-tokoh perubahan zaman yang seringkali nasibnya lebih tragis ketimbang tokoh laki-laki semisal Socrates yang mati diracun atau Galileo yang di hukum mati oleh Gereja. Hiphatya disergap di rumahnya, dibunuh dan jasadnya dikuliti dengan kulit kerang untuk kemudian dibakar oleh para pengikut pendeta Cyril yang disebut oleh pengikutnya sebagai Orang Suci. Kisah tragis Hiphatya terjadi di sekitar abad ke-5 Masehi karena rasionalitas yang diajarkan Hiphatya disebutkannya sebagai ilmu sihir yang dapat menggerogoti kekuasaan Gereja saat itu.
Hiphatya dari Aleksandria 370-415 M


Di Indonesia, kita mengenal RA Kartini yang akhirnya dibelenggu oleh Belanda dengan selubung keningratan dan perkawinannya sampai buah pikirnya muncul menjadi suatu kisah seorang wanita yang menjadi tanda perubahan zaman "Habis Gelap Terbitlah Terang" menjadi tulisannya yang mempengaruhi pergerakan kaum wanita Indonesia di masa mendatang. Meskipun gema dari semangatnya yang ingin mengangkat derajat wanita dengan pendidikan masih terdengar sampai hari ini (saya menulis risalah ini menjelang 21 Mei 2006 sebagai Hari Hartini), namun gema itu terdengar sayup-sayup saja yang masih kita ingat ketika kita melihat anak-anak sekolah memakai kebaya, baju bodo, atau baju-baju daerah lainnya. Begitulah yang kita lakukan sejak SD ketika Hari Kartini tiba.
Kini, gagasan Kartini telah lama ditunggangi oleh niat-niat busuk yang mengarahkan pengertian kewanitaan kearah bias jender yang mengarah pada penurunan derajat wanita itu sediri ketika jenderisme disandingkan dengan kebebasan tanpa tujuan yang jelas, kecuali hanya semata-mata kesenangan dan hedonisme keakuan belaka yang diselubungi kapitalisme dunia hiburan. Niat Kartini untuk mengangkat derajat kaum wanita dari kegelapan pun melenceng sedikit demi sedikit, dijadikan ajang permainan kata-kata, semantik, dan politik dan tentu saja lumayan untuk mengangkat popularitas. Kartini-kartini lain, yang masih mengikuti ajaran RA Kartini, mungkin masih ada dan tersembunyi karena memang tidak membutuhkan wira-wiri dunia hiburan maupun popularitas media yang mutunya makin melorot kalau dibandingkan media zaman Raden Djoko Mono dulu, karena saat ini media massa bukan lagi menjadi media penerang rakyat, tetapi sebagai ajang media kepentingan pribadi yang diburu-buru para investor yang memutar-mutar uangnya.
Mengingat tokoh wanita seperti Hiphatya dan RA Kartini, saya pun kembali teringat Ibu saya sebagai manifestasi Al-Rahmaan al-Rahiim, yang melimpahkan kasih sayang dan ampunan, dan bisa jadi menjadi penghukum bagi anak-anak yang durhaka. Ibu Pertiwi pun demikian juga, ketika anak-anak yang hidup di buminya mulai melenceng dan menjadi anak-anak durhaka, iapun mulai jengah, gelisah, menahan amarah, dan akhirnya menjadi amarah yang nyata dengan memperlihatkan karakter aslinya sebagai Ibu Pertiwi Bumi Indonesia yang sebenarnya berdiri di atas lempeng tektonik benua-benua yang tidak diam tetapi bergerak secara periodik. (Lihat gambar lihat Indonesia The Heart Of Allah)

Indonesia dengan posisi geografis diantara 90 derajat sampai 150 derajat Bujur Timur dan diantara 10 derajat Lintang Utara sampai 10 derajat Lintang Selatan adalah jantung Planet Earth atau The Hearth Of Allah yang menciptakan Planet Earth sebagai tempat menifestasinya bahwa Dia Maha Hidup dan Maha Mematikan, namun Dia juga Rabbul ‘Aalamin, yang menciptakan, memelihara dan mendidik semua makhluk-Nya dengan berbagai fenomena dan peristiwa yang kemudian diungkapkan dari zaman ke zaman menjadi legenda-legenda, kisah-kisah, ilmu pengetahuan dan Realitas The Matrix yang sebenarnya dimana bit-bit dijital dengan basis biner aau huruf "Ba" berdenyut dan bergetar, bergerak dan menyusun gambaran realitas baru yang lebih cepat ditransmisikan, diubah semau kita, dan digunakan sebagai fondasi masa depan peradaban manusia sebagai Abad Tauhid Base Society atau Knowledge Base Society.
Dengan posisi Indonesia (dari lokasi bujur diperoleh 90+150=240 atau 24X10) yang mencitrakan arti sebagai kelahiran Cahaya Pengetahuan Tuhan pertama kali maka sungguh elok bahwa surat ke-24 (dengan 64 ayat sebagai matriks papan catur 8x8=64) sebagai surat an-Nuur dalam kitab wahyu Al Qur’an berfirman tentang bagaimana Pesan-pesan Tuhan pertama kali dipahami dan diturunkan sebagai cahaya yang menerangi kegelapan akal pikiran dan jiwa manusia dengan penegasan yang kemudian dinyatakan dengan 47 huruf yang menjadi ciri Kepribadian Manusia yang beriman sebagai sebagai al-Mukminun.
Relasi antara QS 24:1 dan QS 23:1 pun muncul sebagai suatu ungkapan Wahyu dalam al-Qur’an yang secara terselubung, dengan semantik logis yang indah dan pasti mengaitkan makna tersembunyi Indonesia yang memiliki nama dengan al-Jumal bahasa Arab 175 (Alif(1), Nun(50), Dal(1), Nun(50), Sin(60), Ya(10) dengan rahasia Penciptaan terselubung sebagai huruf ‘Ain(70) yang mengiringi Alif sehingga nilai totalnya adalah 175+70=245=49X5) dengan asal-usul seluruh ajaran agama di dunia dan berarti sebagai sumber asal dari semua pengetahuan manusia yang saat ini kita kenal sebagai ilmu pengetahuan apapun juga dengan basis simbol, geometri, bilangan, dan abjad/alfabet.

Read More: Indonesia Dalam Terawangan Al Qur'an | Kami Muslim Sejati
Malaikat mengangkat bahumu, menguatkanmu, menepuk pundakmu. Gak hanya satu, tapi beribu-ribu malaikat bersaksi dan membantu demi kelancaran ujianmu. Jika kau pernah hadapi kematian, dan kau berhasil melewatinya. Tentu, macam kehidupan yang lain bisa engkau taklukan. Aku baru saja menemukan formula sederhana dari sebuha kehidupan. Jika Gagal, Jatuh maka cukup bangkit dan mencoba lagi. Jika sakit, perih dan menyayat Hati. Cukup bangkit, memaafkan yang terjadi dan memulai lagi. Hanya yang Kuat, Keras, Cerdas, dan Ikhlas yang akan mampu melewati 'permainan' sendau gurau ini.
Aku bersyukur, aku yang hobi jalan - jalan tanpa tujuan akhirnya mendarat secara 'tiba-tiba'. Dengan sebuah kepakan sayap dan perbincangan udara, aku pun kini menapakan dibumi wali - Tuban, Jawa Timur. Dulu, jika aku pergi tinggal pergi. Gak harus punya tujuan, asal keluar rumah dan meninggalkan kebiasaan. Rutinitas dan mencari hal baru.

Ya, pendaratan yang 'tiba-tiba' itu telah membawaku jauh menapaki sisi pantai Utara yang penuh dengan kegiatan lautnya. Aku membayangkan, sebuah kehidupan masa lalu. Tentang cerita nenek moyang kita, tentang Para saudagar dan Para Raja - Raja ditanah Jawa. Tentang sebuah peradaban yang kini tinggal kenangan karena sebuah teknologi bernama jembatan. Aku tahu, masih ada kehidupan disekitar laut di Semarang, Surabaya, Banyuwangi dan beberapa Kota disebarang lautan lainnya.

Tentang sebuah harapan itu, engkau bisa melepasnya jika lelah. Bisa melupakannya jika jenuh. Bisa pula kau campakan karena kau tak mau lagi berpengharapan. Kau boleh menyerah ditengah jalan. Kau bisa pasrah dalam kehidupan. Tapi kau tak bisa menghindar dari sebuah kenyataan. Kenyataan hanya mampu dihadapi dengan sebuah kenyataan baru. Kenyataan yang saat itu juga. Kenyataan yang membangunkan. Kenyataan yang mungkin memprihatinkan. Kenyataan bahwa hidup ini tak hanya soal ini. Tapi juga soal itu.

Kehidupan ini, mudah saja sebetulnya. Aku ketika menjadi "aku", Aku ketika menjadi "Anak", Aku ketika menjadi "Mahasiwa" atau hanya sekedar ketika Aku menjadi "sepertimu". Aku ini satu. Tapi tak berperan hanya satu. Ada aku ketika menjadi salah satu diantara "aku", tapi aku yang terpenting adalah "aku adalah khalifah". Aku adalah Hamba yang harus taat. Aku yang harus menjalankan sholat dan aku yang bis memilih antara surga atau neraka.

Ketika aku menjadi "aku", maka aku bebas menjadi semauku. Tanpa aturanku, tanpa tuntutanku, dan tanpa 'tedeng aleng-aleng' ku. Aku bisa menjadi apa yang aku mau, hanya saja terkadang aku lupa. Kalau menjadi "Aku yang berhasil itu ada syaratnya". DAN AKU BERHAK MEMILIH apapun sikap, lingkungan dan guru untuk kehidupanku.

Hanya kemauan keras yang mampu mengalahkan keadaan.

By: Torianu Wisnu