Dalam sebuah meeting
untuk mengambil keputusan tentang promosi, terasa sekali betapa manajemen
puncak bimbang dalam mengambil keputusan. Ada pimpinan yang bersikap super
tegas dengan mengandalkan pengukuran kinerja yang objektif dan terukur. Ada
juga pimpinan yang memberi pertimbangan berdasarkan hal lain, seperti loyalitas
karyawan lama, perasaan karyawan yang sudah berusaha mati-matian, namun tidak
mendapatkan hasil cemerlang karena situasi pasar maupun talenta yang memang
tidak seberbakat temannya. Salah seorang manajemen puncak mengatakan,
”Keputusan harus mempertimbangkan yang obyektif dan faktual dengan faktor
politis”. Ya, meskipun kita kerap menekankan pentingnya objektivitas dan
keterukuran, namun apa jadinya bila “kata hati” tidak didengarkan?
Bila individu tidak menggunakan
kata hatinya,
maka pengambilan keputusan menjadi sangat mudah dan tidak berperasaan. Kita
tentu miris juga bila melihat proses penggusuran yang dilakukan tanpa pandang
bulu, atau, kenaikan biaya pendidikan yang seolah hanya berorientasi bisnis dan
tidak mempertimbangkan kesempatan bagi siswa dari keluarga yang kurang mampu.
Sebaliknya, ketika seorang pemimpin ragu dan ingin mempertimbangkan aspek-aspek
di luar yang terukur, maka ada proses tanya jawab dengan kata hatinya.
Kita menyaksikan
betapa beberapa tokoh mengelak dan membela diri, bahkan berbohong di
persidangan atau konferensi pers dengan begitu ringan dan terasa tanpa rasa
bersalah. Kita jadi bertanya-tanya, bagaimana mekanisme individu mendengarkan
kata hatinya? Apakah pada setiap individu, ukuran kata hati berbeda-beda? Ada
orang yang langsung resign dari kursi empuknya ketika dituduh mendapat
rumah gratis dari perusahaan properti, tetapi ada juga orang yang sudah
telak-telak bersalah, tetapi masih dengan lantang mondar-mandir di publik
dengan mengatakan: ”Saya tidak bersalah”. Apakah kata hati kadang bekerja,
kadang tidak? Bagaimana mengasah agar kata hati terus tajam dan membantu kita
dalam mengambil tindakan dan keputusan?
Melandasi
keputusan dengan misi yang etis
Belajar dari situasi di Jepang, kita bisa melihat betapa begitu banyak pertimbangan yang dilakukan pemerintah dalam menangani bahaya peledakan nuklir di Okuma. Pemerintah perlu menjaga informasi agar tidak menimbulkan kepanikan, tetapi juga berusaha agar tidak satu pun rakyat Jepang menderita karena dampak radiasi yang mungkin terjadi akibat rusaknya pusat tenaga nuklir ini, setahun yang lalu. Pemerintah Jepang bahkan mengijinkan pihak independen untuk meninjau lapangan untuk mendapatkan evaluasi obyektif mengenai kondisinya.
Belajar dari situasi di Jepang, kita bisa melihat betapa begitu banyak pertimbangan yang dilakukan pemerintah dalam menangani bahaya peledakan nuklir di Okuma. Pemerintah perlu menjaga informasi agar tidak menimbulkan kepanikan, tetapi juga berusaha agar tidak satu pun rakyat Jepang menderita karena dampak radiasi yang mungkin terjadi akibat rusaknya pusat tenaga nuklir ini, setahun yang lalu. Pemerintah Jepang bahkan mengijinkan pihak independen untuk meninjau lapangan untuk mendapatkan evaluasi obyektif mengenai kondisinya.
Bisakah kita
membayangkan betapa beratnya pejabat-pejabat negara itu untuk mendapatkan keseimbangan
dalam pengambilan keputusan? Siapa yang akan dibela? Gengsi atau uang negara?
Ekonomi yang macet karena penduduk harus diungsikan? Atau, pertahanan negara?
Apa misinya dan seberapa etiskah misi ini diperjuangkan?
Dalam bisnis, banyak
orang berpendapat bahwa uang, produktivitas, dan kinerja adalah landasan yang “ultimate”.
Namun, bisakah kita membayangkan seorang CEO yang tidak mempunyai pertimbangan
bagaimana mempengaruhi anak buahnya untuk menjadi orang berintegritas? Bila
kita mengamati pemimpin yang kita kagumi, kita selalu akan melihatnya sebagai
orang yang tidak saja mengambil keputusan bisnis yang tepat, tetapi juga
mempunyai misi yang jelas terhadap hal-hal yang tidak teraga seperti trust,
kreativitas, fokus, kecepatan, fleksibilitas, loyalitas dan komitmen.
Seorang CEO sebuah
bank terkenal bahkan bisa menjamin bahwa dengan menguatkan integritas karyawan
di perusahaan, NPL alias kredit macet bisa dikurangi. Kata hati individu
bekerja pada saat individu dibingungkan apakah benar-salahnya suatu keputusan
dilandasi pada pertimbangan kebaikan, kepantasan, fairness, dan
kemanusiaan yang optimal. Inilah misi yang perlu dipegang teguh dalam
pengambilan keputusan, apalagi oleh pimpinan dan pejabat “C-level” di
perusahaan.
Menguatkan kata hati
Kuat-tidaknya kata hati seseorang bisa menggambarkan kekuatan karakternya. Ada orang yang tidak mampu memenangkan kata hatinya, karena adanya tekanan dari otoritas. Ada orang yang perlu mengalahkan kata hatinya karena tugas negara. Ada pula orang yang sengaja tidak mau mendengarkan kata hatinya karena serakah. Bisa juga kata hati tidak dilatih untuk berbicara dan didengar, sehingga seorang individu terlihat berinteligensi emosi rendah. Individu yang berkatahati kuat melakukan hal yang benar bukan karena aturan atau perintah, tetapi karena hal ini memang dianggapnya benar. Pertanyaannya, bagaimana individu mengasah dan mengembangkan kata hatinya?
Menguatkan kata hati
Kuat-tidaknya kata hati seseorang bisa menggambarkan kekuatan karakternya. Ada orang yang tidak mampu memenangkan kata hatinya, karena adanya tekanan dari otoritas. Ada orang yang perlu mengalahkan kata hatinya karena tugas negara. Ada pula orang yang sengaja tidak mau mendengarkan kata hatinya karena serakah. Bisa juga kata hati tidak dilatih untuk berbicara dan didengar, sehingga seorang individu terlihat berinteligensi emosi rendah. Individu yang berkatahati kuat melakukan hal yang benar bukan karena aturan atau perintah, tetapi karena hal ini memang dianggapnya benar. Pertanyaannya, bagaimana individu mengasah dan mengembangkan kata hatinya?
Seorang ahli
manajemen mengatakan bahwa tumbuhnya karakter berkata hati, dimulai dari
tanggung jawab. Pimpinan yang bertanggung jawab terhadap suatu kejadian dan
tidak asal cuci tangan, terbukti bersahabat dengan kata hatinya. Tanggung
jawabnya tidak sebatas konsekuensi yang terlihat saja, tetapi kepada intensi,
kehendak, dan keterlibatan dari para pelaku yang menjadi tanggung jawabnya.
Orang yang bertanggungjawab penuh juga biasanya terlihat mematuhi aturan, biasa
antri, mau mengikuti aturan lalu lintas. Bila ia dokter, ia akan mengikuti
etika dan kaidah praktik kedokteran yang benar. Bila ia ahli hukum, maka etika
penegak hukum pun akan dijadikan patokan perilaku.
Kepatuhan pada aturan
ini mempermudah seseorang untuk membangun pagar yang jelas antara baik dan
buruk, sehingga ketika ia mengambil keputusan, kata hatinya pun dengan
mudah membantunya
membuat alasan moral yang tepat untuk kebaikan diri, masyarakat dan negara.
RSS Feed
Twitter
22.57
Mas Bae
Posted in 
0 komentar:
Posting Komentar